My Blog Visitors

free counters
widgeo.net
widgets

Minggu, 09 Oktober 2011

Komunikasi Lintas Budaya yang Terlupakan

Aktivitas PT Drydock World Graha di Batam lumpuh setelah ratusan pekerja membakar dan menghancurkan hampir 50% fasilitas di lokasi perusahaan tersebut. Kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah (22/4). Begitu berita yang mencengangkan minggu lalu terhimpit di antara berita Susno Duadji vs Sjahril Djohan, Bibit-Chandra, Kasus Centrury dan Priok Berdarah. Negeri ini menjadi semacam etalase akrobatik peristiwa maha dahsyat yang sambung-menyambung seolah merupakan mozaik kehidupan yang penuh dengan derita dan nestapa tanpa ujung. Dua peristiwa di antaranya, kasus Drydock dan Tanjung Priok, terjadi karena miskomunikasi yang seharusnya dapat diatasi jika pemahaman terhadap tradisi, budaya dan kebiasaan (customs) masyarakat setempat dimengerti dan diikuti secara situasional dan apresiatif. Jika kasus Priok menjadi panas dan rusuh karena ketidaktelatenan satpol PP dalam menjelaskan apa sebenarnya yang akan digusur dan direnovasi, lain lagi dengan kasus di Batam. Dalam kasus Priok terjadi distorsi pesan yang luar biasa besarnya dan sayangnya tidak segera disadari dengan cepat oleh pihak satpol PP sehingga menambah noise (gangguan/tambahan) pesan yang tidak lagi tematik dan proporsional. Sehingga makam Mbah Priok yang sangat dihormati seolah juga akan digusur! Padahal makan yang sangat dihormati oleh warga setempat itu akan direnovasi dan dibuatkan akses jalan yang baik untuk para peziarahnya. Disini, instrumen komunikasi satpol PP tidak lagi mampu mengatasi pesan komunikasi distortif-masif yang beredar. Pesan itu sudah terlanjur liar, tak terkendali. Esensi substansial pesan menjadi kehilangan penutur absahnya. Pertumpahan darah pun tidak dapat dihindari. Harkat dan martabat manusia menjadi tumpukan bangkai tak bernilai. Dalam kaitannya dengan kasus kerusuhan Drydock, jelas kelihatan betapa pemahaman terhadap komunikasi lintas budaya tidak dipahami dengan baik oleh pekerja asing di kepulauan Riau tersebut. Sang manajer berbudaya India itu tidak memahami betapa diksi (pilihan kata) ketika berbicara harus dipadukan dengan aspek sosiologi, psikologi, intelektualitas dan emosi masyarakat dimana ia berada. Sebenarnya, warga India memiliki gaya komunikasi dengan konteks yang sama dengan Indonesia, yaitu: konteks tinggi. Artinya, mereka tidak akan pernah menyampaikan pesan (message) secara telanjang dan langsung menuju ke sasaran yang dimaksud. Pesan akan dibingkai dan dihiasi dengan berbagai varian kata untuk memperindah kalimat dan maksud yang dituju. Hal ini ternyata tidak dilakukan oleh manajer Drydock yang bersuku India tersebut. Ia berbicara dengan konteks rendah, straight to the point, tanpa tedeng aling-aling. Hal ini menyebabkan terjadinya sebuah kejutan budaya (cultural shock) yang berakibat fatal, ditambah lagi situasi sosiologis dan psikologis massa pada saat itu tidak dalam kondisi yang baik. Pesan yang langsung dan telanjang, tanpa basa-basi, apa lagi berisi hinaan terhadap harkat dan martabat bangsa, tentu mengundang solidaritas generik dari pendengarnya. Disinilah komunikasi konteks tinggi (diplomatis) tidak dilakoni dengan baik sehingga memunculkan konflik rasialis yang muaranya jelas mengganggu komunitas kedua suku bangsa itu secara masal. Jika komunikasi lintas budaya dipahami dengan baik, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkomunikasi dengan konteks tinggi (bergaya diplomatis, tidak langsung ke sasaran yang dituju), menjunjung tinggi gaya komunikasi sopan dan santun (verbal), bahasa tubuh (non-verbal) yang lembut dan beretika serta sapaan (address system) yang halus dan hierarkis sifatnya, tentu peristiwa di Batam itu tidak seharusnya terjadi. Apalagi terdapat banyak persamaan gaya komunikasi bangsa kepulauan ini dengan bangsa pembuat film terbanyak di dunia itu. jika ditelusuri secara komunikasi, orang India termasuk orang yang sangat sulit menolak sesuatu dengan tegas (high context), berbahasa halus (verbal), memiliki bahasa tubuh yang sopan (non-verbal) ditandai dengan selalu mengangguk dan menundukkan kepada kepada orang yang lebih tua, dan nada bicara yang moderat (pitch). Seyogyanya, dengan modal budaya komunikasi yang sudah built-in dalam diri semacam itu aplikasi interaksinya terhadap bangsa lain tentu akan menggunakan modal dasar ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kejadian di Batam menjadi semacam anomali komunikasi antar kedua bangsa ini. Guna menghindari konflik rasialis dan komunal semacam Drydock, Batam di kemudian hari, sudah sepantasnya, budaya komunikasi setiap bangsa perlu dipelajari, dimengerti dan diaplikasikan dengan penuh tanggung jawab, khususnya untuk para ekspratriat yang tengah bekerja di negeri ini. Jamak sudah referensi yang kita miliki betapa karena alasan miskomunikasi perang antar-ras manusia sering terjadi. Muara dari pertikaian ini jelas sudah. Selain mencabik-cabik rasa kemanusiaan setiap insan yang melihatnya, ia juga merusak fasilitas kehidupan manusia lainnya yang tidak tersangkut paut dengannya. Orang bijak sejak dulu telah mengajarkan kepada kita melalui kristalisasi kalimat arifnya, ‘dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.’ Mari junjung bahasa, budaya dan kebiasaan serta kepercayaan suku apa pun yang ada di sekitar Anda, niscaya, lahir dan batin akan mendapatkan berkahnya: bahagia sejati!


oleh Dr ponijan liaw

0 komentar:

Posting Komentar

Trimakasih telah membaca
Ada baiknya kalau anda juga memberikan komentar
Trimakasih