(Dimuat di Koran Analisa Medan, Kamis, 6 Oktober 2011) |
Marah sesungguhnya adalah racun mental negatif yang biasanya akan disesali sesaat setelah dilakukan. Ia menyumbat segala celah kebijaksanaan untuk muncul dan berkembang. Semakin ia dipertahankan, semakin mental menjadi kotor dan rusak. Solusinya, berpikirlah jernih dan tenang, sebelum ‘marah’ beraksi, agar tidak disesali di kemudian hari.
Marah itu mudah, akibatnya yang sulit. Itulah yang harus dicamkan oleh setiap orang. Ketika seseorang marah, tanpa disadari, pintu kebijaksanaan dan kejernihan berpikirnya menjadi tertutup. Tidak ada kejernihan disana. Tidak pula ada kearifan. Yang terjadi hanyalah kegelapan dan kepicikan. Hal ini terutama jika marah itu dilakukan tanpa memiliki alasan yang rasional atau dasar yang kuat.
Saat Bill Clinton Marah Bill Clinton, pernah melakukan hal yang bernama ‘marah’ itu di Gedung Putih. Pada saat kasus skandal dirinya dengan Monica Lewinsky mencapai puncaknya, tentu ia menjadi incaran para juru kamera dan jurnalis untuk diwawancarai. Ia pun terus diburu. Sampai pada suatu sore, ia berhasil dicegat dan ditanyai hal itu. Bukannya menjawab pertanyaan para juru warta itu, dengan tanpa berpikir panjang, ia pun langsung marah sambil berteriak. Tentu hal itu membuat seluruh juru warta dan kamera media cetak dan elektronik yang biasa bertugas di Gedung Putih menjadi kaget luar biasa. Soalnya, sang presiden flamboyan itu selama ini tidak pernah atau paling tidak belum pernah melakukan hal seperti itu. Lalu apa pasal yang menyebabkan ia menjadi sedemikian defensif-destruktif dalam menjawab pertanyaan yang bisa tidak dijawabnya jika ia menghendakinya. Pasca kepergian sang presiden dari ruang pers itu, para wartawan pun sibuk membahas apa gerangan yang membuat hal itu terjadi. Segala teori dan kemungkinan pun dibahas secara serius. Namun, tidak sampai berlarut-larut, dalam hitungan jam, sang presiden kembali memasuki ruangan pers yang kali ini tentu saja disambut dengan suasana hening dan tenang dari para juru warta disana. Dengan tenang, disertai dengan senyum yang lembut dan tulus, ia pun meminta maaf atas kejadian beberapa jam sebelumnya. Ia bilang kalau ia khilaf, ia terlalu letih dengan rutinitasnya sehingga kurang istirahat dan pikiran pun jadi mampet. Dengan besar jiwa ia menyatakan menyesal dan meminta maaf. Ini sebuah contoh besar yang sangat luar biasa. Sang presiden negeri super power meminta maaf. Dengan demikian, energi negatif karena marah itu tidak membatin dan membusuk di dalam hati. Lebih cepat ia dikeluarkan tentu akan semakin cepat menjernihkan hati. Bukankah hati adalah pembisik paling sejati dan jujur tanpa pretensi? Mengonsumsi Kemarahan Tanpa disadari, setiap hari kita mengonsumsi kemarahan dari lingkungan. Apakah saat berada di jalan raya dengan pengendara yang membelok dan menikung sesukanya. Atau dari makanan yang kita santap karena dipotong dengan cara-cara yang sangat keji sehingga racun-racun negatif akibat kemarahan ternak dan satwa itu menyebar dalam daging yang kita konsumsi. Atau juga karena kata-kata tidak pantas yang kita dengar di rumah, kampus, kantor atau tetangga. Semua memberikan kontribusi ‘makanan marah’ yang jika tidak disadari akan dikonsumsi dengan lahap dan akhirnya membentuk karakter PEMARAH. Dan seorang pemarah harus ingat bahwa ‘dalam setiap satu menit kemarahan, kita telah kehilangan 60 detik kebahagiaan.’ Karenanya, jika kesehatan dan kebahagiaan yang dicari dalam hidup ini, mengonsumsi kemarahan harus dihindarkan. Sadari adanya ‘makanan kemarahan’ itu saat ia muncul, lalu katakan pada diri, ‘ini bukan makanan sehat yang layak untuk dikonsumsi.’ Dengan demikian, racun-racun kemarahan yang terkandung dalam materi ‘makanan’ itu tidak akan sempat mampir ke dalam diri. Penolakan terhadap hal ini jika dilakukan dengan sadar dan terus-menerus akan menjadikan saluran darah dalam diri menjadi bersih. Hati pun menjadi suci. Dan, kepala pun tetap dingin menyikapi suasana panas sekali pun. Memang tidak mudah menolak situasi dan kondisi negatif itu. Namun jika dilatih secara intens dan intensif segala sesuatunya menjadi mungkin. Akhirnya, pilihan ada di tangan masing-masing, apakah ingin menjadi orang yang untung atau merugi. Jika makanan kemarahan tidak disadari atau disadari namun tidak mau mengendalikan artinya kita memilih untuk terpancing dan mengonsumsinya dan menjadi pemarah. Atau sebaliknya, kita tatap makanan itu dan dengan senyum kemenangan kita berkata, ‘aku tidak suka makanan ini karena hanya merusak jaringan saraf kesadaran dan kehidupan bahagiaku.’ Itulah dua pilihan yang ada dalam kendali diri. Tidak seorang pun yang bisa mengendalikannya untuk anda. Sebagai penutup, mari kita renungkan kalimat ini – tidak seorang pun yang bisa membuat anda marah, jika anda tidak mengijinkannya. Jadilah tuan atas diri sendiri agar kendali tetap berada dalam jangkauan. Semoga!*** Penulis adalah Komunikator No. 1 Indonesia, Pelatih & Penulis Buku-buku Komunikasi, tinggal di Jakarta, Twitter: @ponijanliaw, email: pl@ponijanliaw.com. JIKA ANDA PUNYA TWITTER FOLLOW @PonijanLiaw DAN JUGA FOLLOW PUNYA SAYA YA @owgembel |
0 komentar:
Posting Komentar
Trimakasih telah membaca
Ada baiknya kalau anda juga memberikan komentar
Trimakasih